Now Playing : Garuda Di Dadaku

Senin, 24 Oktober 2011

Karakter Bangsa Indonesia

Karakter bangsa; kata yang selalu muncul dan seringkali menjadi penutup
diskusi perihal penyebab keterpurukan Bangsa Indonesia di berbagai bidang.
Bukan hal baru untuk menyatakan bahwa karakter bangsa kita, ekstrimnya,
sedang berada di titik nadir. Saya sangat meyakini bahwa perbaikan karakter
bangsa merupakan satu kunci terpenting agar bangsa yang besar jumlah
penduduknya ini bisa keluar dari krisis dan menyongsong nasibnya yang baru. 

Pergilah ke kantor-kantor yang berurusan dengan pelayanan publik, pasar,
hingga jalan raya; dan bandingkan dengan kondisi tempat yang sama di negar
maju, anda akan bisa memaklumi puisi Taufik Ismail yang bertajuk Malu (Aku)
Menjadi Bangsa Indonesia. Tak perlu gerah dan membuat puisi tandingan,
gunakan cermin besar untuk melihat keseharian bangsa kita (yang tentu saja
turut menelanjangi diri sendiri). Masih ada, jelas, bagian dari bangsa kita yang berkarakter
mulia; hanya sayang, jumlahnya masih minoritas.


Sudah Habis Teori di Gudang; demikian ungkapan Professor Mahfud MD
menjawab pertanyaan mahasiswanya tentang teori apa lagi yang bisa digunakan
untuk membawa bangsa ini keluar dari krisis (Kompas, 11 Oktober 2005).
Bangsa kita memang gudangnya teoritikus, yang nampak garang dan gagah
manakala mendiskusikan dan merumuskan sebuah konsep, namun hampir
menjadi nihil, bahkan bertotak belakang dalam aplikasinya. Tidak sesuainya
kata dan perbuatan, demikian ungkapan dai-dai kondang kita yang berusaha
mencari solusi bagi bangsa.Menjadi lebih menyedihkan lagi manakala kita melihat ke dalam dan
menemui bahwa mayoritas komponen bangsa kita mengklaim dirinya
sebagai bangsa yang religius. Banyak sudah orang mengatakan bahwa

nilai-nilai religiusitas yang diyakini menjadi bagian integral Bangsa Indonesia justru diaplikasikan dalam keseharian oleh bangsa maju yang notabene sekuler. Bangsa kita gagal dalam melakukan internalisasi nilai-nilai luhur yang berasal dari Tuhan menjadi perilaku keseharian. Sedangkan bangsa lain memeras otak mereka dan menghasilkan prinsip hidup yang terealisir. Nilai-nilai luhur bangsa kita jelas lebih unggul, karena berasal dari Tuhan; perlu usaha keras dan luarbiasa untuk melakukan internalisasi. Tidak perlu malu untuk mengakui bahwa sebagian besar lembaga pendidikan kita, baik pendidikan formal ataupun non-formal, umum ataupun keagamaan, belum berhasil melakukan tugas utamanya: internalisasi nilai luhur menjadi perilaku.

Belum terlambat dan insya Allah tidak mustahil mengubah nasib Bangsa Indonesia. Jangan menunggu keajaiban datang dari langit. Seluruh komponen bangsa: Pemerintah, Legislatif, Yudikatif, Militer, Penegak Hukum, Swasta, dan Masyarakat harus bertekad kuat memperbaiki karakter bangsa melalui peran masing-masing. Tidak perlu membuat TAP MPR atau UU Karakter Bangsa – pengalaman menunjukkan bahwa banyak peraturan di bumi pertiwi yang hanya berhenti di lembaran negara.Zero defect harus menjadi prinsip utama seluruh komponen bangsa; baik untuk urusan kecil, seperti membuang sampah, hingga pengamanan harta negara.

Implementasi zero defect memerlukan kepemimpinan yang bersih, kuat, tegas, dan berstamina tinggi. Zero defect tidak mustahil untuk dilaksanakan, karena ini masalah pembiasaan. Zero defect bukan berarti mengingkari kodrat manusia yang memang tidak pernah bisa mencapai kesempurnaan; namun hal tersebut menjadi the ultimate goal yang patut digantungkan di dinding kantor-kantor pemerintahan. Sedikit penyimpangan terhadap zero defect yang masih berada dalam toleransi yang terukur bisa ditolerir dengan catatan adanya tekad bulat untuk kembali menuju ke zero defect.

Karena ini masalah pembiasaan, maka kunci terpentingnya ada di bidang pendidikan. Wajah pendidikan kontemporer kita, sebagai sebuah sistem yang tak bisa lepas dari rembesan nilai-nilai setempat, masih terlihat belum cemerlang. Secara umum, pendidikan di Indonesia belum menghasilkan lulusan berkarakter kuat. Tentu saja, ada di sana-sini pelaku pendidikan, baik individu ataupun lembaga yang berkarakter. Hanya saja jumlahnya masih minoritas.

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Forum Rektor (Forek), dan berbagai pimpinan lembaga pendidikan formal dan non-formal perlu kembali mengingatkan kepada anggotanya tentang peran mulia dan strategis mereka dalam perubahan nasib bangsa. Tidak perlu menunggu implementasi UU Guru dan Dosen untuk memulai semua itu, karena entitas ini, Guru, Dosen, dan para pendidik pada umumnya, adalah para pahlawan bangsa. Sejarah kontemporer Indonesia akan mencatat dengan tinta emas peran para pendidik dalam keluarnya Indonesia dari krisis. Lingkaran setan yang membelit Bangsa Indonesia perlu segera diputus; dimulai dari para ksatria: Guru, Dosen, dan para pendidik. Kami menunggu kiprah anda semua.
Dirgahayu Bangsa Indonesia; selamat memasuki jalan panjang dan berliku menuju bangsa yang berkarakter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar